Malam minggu kemarin adalah malam minggu yang sangat menyenangkan namun juga meresahkan.
Mengapa menyenangkan? Karena saya bersama 4 orang teman saya menghabiskan waktu kami di sebuah pusat tongkrongan anak muda masa kini alias PVJ. Menyenangkan berbicara, bertukar pikiran, dan bermain bersama mereka. Mereka adalah Nasrul Akbar, Aulia Fadil, Biyan Resti Ananta, dan Vita Khairunnisa.
Namun juga meresahkan. Karena apa? Karena di malam minggu kali ini, saya lumayan tersentil oleh kalimat-kalimat bijak yang keluar dari mulut 3 orang teman saya (saat sesi ini, nona Vita sedang menemani XXX nya) tersebut.
Semua berawal dari curhatan salah satu diantara kami yang merasa dirinya menjadi sedikit menjaga sikap atas permintaan XXX nya. Menjaga sikap disini adalah tidak berlaku seaneh biasanya. Dan lebih berpikir dahulu sebelum bertindak. Kemudian yang ia tanyakan adalah, bagaimana seharusnya? Apakah dia harus menuruti kemauan si XXX atau dia tetap menjadi diri dia yang asli?
Pendapat-pendapat pun dilontarkan oleh 2 orang teman saya yang lain. Yang akhirnya menimbulkan sebuah kesimpulan yaitu, yang dibutuhkan adalah KOMPROMI. Bagaimana teman saya itu bisa berkompromi dengan dirinya sendiri dan XXX nya. Bagaimana caranya agar teman saya itu berubah menjadi lebih baik lagi tapi perubahan itu tidak merubahnya menjadi seseorang yang palsu. Dia tetap menjadi dia. Hanya saja dia menjadi lebih baik lagi. Apakah kalian menangkap apa yang saya maksud kan disini?
Semoga kalian mengerti.
Sehingga akhirnya, saya lupa karena apa, saya pun langsung melontarkan sebuah problematika saya yang memang sudah berlangsung semenjak bertahun-tahun yang lalu. Problematika yang tidak harus saya sebutkan disini tersebut menuai banyak tanggapan. Tanggapan mereka sungguh sangat menyentil saya. Sehingga saya pun hampir ingin menangis, namun saya tahan, karena saya tidak mungkin menangis disana. Intinya adalah, dari problematika yang saya lontarkan tersebut, saya disimpulkan belum bisa mengerti apa yang dimaksud dengan kompromi disini. Maksudnya adalah, saya masih belum bisa melakukannya. Saya masih terlalu egois untuk mempertahankan apa yang saya rasakan. Padahal seharusnya saya tidak perlu begitu. Karena yang dirugikan memang saya sendiri.
Ya, kompromi.
Hanya sebuah kata.
Namun membuat saya terus berpikir, sampai saat ini.
Membuat saya langsung terduduk, melamun, merenungkan kembali hal-hal yang harus saya kompromikan, begitu saya tiba di rumah.
Apakah saya bisa melakukannya?
Ya, saya harus bisa.
Karena saat ini, saya butuh sebuah kompromi ini untuk melanjutkan sebuah aksi yang sudah 1/4 jalan ini.
Ya, Nana pasti bisa!
Mengapa menyenangkan? Karena saya bersama 4 orang teman saya menghabiskan waktu kami di sebuah pusat tongkrongan anak muda masa kini alias PVJ. Menyenangkan berbicara, bertukar pikiran, dan bermain bersama mereka. Mereka adalah Nasrul Akbar, Aulia Fadil, Biyan Resti Ananta, dan Vita Khairunnisa.
Namun juga meresahkan. Karena apa? Karena di malam minggu kali ini, saya lumayan tersentil oleh kalimat-kalimat bijak yang keluar dari mulut 3 orang teman saya (saat sesi ini, nona Vita sedang menemani XXX nya) tersebut.
Semua berawal dari curhatan salah satu diantara kami yang merasa dirinya menjadi sedikit menjaga sikap atas permintaan XXX nya. Menjaga sikap disini adalah tidak berlaku seaneh biasanya. Dan lebih berpikir dahulu sebelum bertindak. Kemudian yang ia tanyakan adalah, bagaimana seharusnya? Apakah dia harus menuruti kemauan si XXX atau dia tetap menjadi diri dia yang asli?
Pendapat-pendapat pun dilontarkan oleh 2 orang teman saya yang lain. Yang akhirnya menimbulkan sebuah kesimpulan yaitu, yang dibutuhkan adalah KOMPROMI. Bagaimana teman saya itu bisa berkompromi dengan dirinya sendiri dan XXX nya. Bagaimana caranya agar teman saya itu berubah menjadi lebih baik lagi tapi perubahan itu tidak merubahnya menjadi seseorang yang palsu. Dia tetap menjadi dia. Hanya saja dia menjadi lebih baik lagi. Apakah kalian menangkap apa yang saya maksud kan disini?
Semoga kalian mengerti.
Sehingga akhirnya, saya lupa karena apa, saya pun langsung melontarkan sebuah problematika saya yang memang sudah berlangsung semenjak bertahun-tahun yang lalu. Problematika yang tidak harus saya sebutkan disini tersebut menuai banyak tanggapan. Tanggapan mereka sungguh sangat menyentil saya. Sehingga saya pun hampir ingin menangis, namun saya tahan, karena saya tidak mungkin menangis disana. Intinya adalah, dari problematika yang saya lontarkan tersebut, saya disimpulkan belum bisa mengerti apa yang dimaksud dengan kompromi disini. Maksudnya adalah, saya masih belum bisa melakukannya. Saya masih terlalu egois untuk mempertahankan apa yang saya rasakan. Padahal seharusnya saya tidak perlu begitu. Karena yang dirugikan memang saya sendiri.
Ya, kompromi.
Hanya sebuah kata.
Namun membuat saya terus berpikir, sampai saat ini.
Membuat saya langsung terduduk, melamun, merenungkan kembali hal-hal yang harus saya kompromikan, begitu saya tiba di rumah.
Apakah saya bisa melakukannya?
Ya, saya harus bisa.
Karena saat ini, saya butuh sebuah kompromi ini untuk melanjutkan sebuah aksi yang sudah 1/4 jalan ini.
Ya, Nana pasti bisa!
Comments