x : "summpeehh loo??" (volume mendekati maksimal)
y : "bla bla bla" (volume minimal)
x : "wah wah wah.. lu lucu banget"
y : "bla bla bla"
x : "sumpah, gw shock, sumpah sumpah"
Saat itu waktu menunjukkan pukul (hampir) delapan pagi. Keadaan 3501, ruangan cukup besar yang bisa menampung lebih dari 100 mahasiswa tersebut, cukup riuh. Ada mahasiswa yang mati-matian menghafal untuk ujian, ada yang bergerombol sambil membicarakan hal yang, entahlah, mungkin lebih penting dari menghafal ulang pelajaran yang ada. Ada juga mahasiswa tingkat akhir yang berusaha keras untuk menghafal, namun yang ia dapatkan adalah ekspresi-ekspresi berlebih dari mahasiswa tingkat 2 yang berada di sekitarnya.
Waktu ujian pun kian mendekat, merasa sudah tidak kondusif lagi dalam menghafal, sang mahasiswa tingkat akhir itu pun mulai memasuki catatannya ke dalam sebuah tas merah di dekat kakinya. Dia pun mulai mengomentari prilaku-prilaku mahasiswa tingkat 2 yang ada di kelasnya tersebut.
Ada fase dimana kamu menganggap teman itu sebagai bagian dari belahan jiwa kamu. Ada kalanya kamu bereaksi kelewat berlebih saat berhadapan dengan mereka. Maka ketika kamu merasakan hal itu, teman adalah seseorang yang sangat berarti bagi hidup kamu, sangat wajar jika kamu mengeluarkan ekspresi berlebih tersebut saat mereka ada. Misalkan, ketika kamu melihat mereka di tempat yang sebelumnya tidak kamu kira bisa bertemu dengannya, perasaan senang pun akan muncul, yang kemudian bertransformasi menjadi sebuah teriakan histeris (ini biasa dialami para cewe-cewe), histeris seperti bertemu teman lama yang sangat dirindukan.
Namun ada kalanya juga fase itu akan terlewati, dan kamu menganggap teman ya hanya teman biasa. Kamu akan merasa tidak ada yang lebih dari mereka, sehingga perlakukan kamu ke mereka pun akan biasa saja. Maksud saya disini adalah, seiring berjalannya waktu, seiring dengan bertemunya kamu dengan orang-orang baru yang mungkin lebih rumit, maka disitulah akan terjadi perubahan pada diri mu. Pemikiran kalian pun akan menjadi lebih rumit. Kalian akan berpikir sesaat sebelum bertindak, bahkan setelah bertindak. Kalian akan terus mengevaluasi, apa yang telah saya lakukan? mengapa saya lakukan hal itu? mengapa saya tidak bisa melakukan ini? mengapa mengapa dan mengapa yang terus ada di benak kalian. Setiap saat kalian berusaha mencari tahu akan sesuatu hal secara lebih detail.
Mahasiswa tersebut masih berpikir, dulu dia pernah merasakan hal yang sama dengan mahasiswa tingkat 2 tersebut. Dulu dia merasa sepertinya dia pernah berekspresi berlebih yang pada akhirnya berhenti pada titik kenorakannya. Sekarang pun terkadang, dia masih suka secara tidak sadar mengeluarkan ekspresi-ekspresi tersebut. Namun, yang berbeda antara dulu dan sekarang adalah, dulu dia tidak pernah mencoba berpikir mengenai apa yang telah ia lakukan. Sekarang, setelah mengeluarkan ekspresi berlebihan, dia selalu berpikir, "pentingkah saya berekspresi demikian?".
Setiap detik manusia berkembang, orang yang dulunya merupakan perpaduan antara sanguin dan koleris, bisa tiba-tiba menjadi melankolis dan koleris. Ataupun sebaliknya. Semua berkembang, semua beradaptasi menyesuaikan dengan lingkungannya.
Ujian pun akan segera dimulai, kertas ujian sudah dibagikan, kertas soal akan segera dibagikan, sang mahasiswa tingkat akhir itu pun menutup pemikirannya.
Suatu saat mereka akan seperti aku, menertawakan dirinya yang dulu. Menertawakan kenorakan mereka, ketidakjelasan mereka. Tapi mereka pun tidak akan menyesali apa yang telah terjadi, mengapa mereka pernah bertingkah demikian, mengapa mereka begini mengapa mereka begitu. Saat itu hanyalah sebuah fase seperti saat ini. Fase yang akan segera dilewati dan fase yang merupakan sebuah jembatan akan perubahan untuk menjadi orang yang lebih hebat lagi. Yes, I know you know, that's life baby. :)
Comments