Skip to main content

Kehidupan Bertetangga

"Pernikahan membuat seseorang berubah. Tidak sama seperti pacaran."

Ada cukup banyak orang yang mengingatkan saya mengenai kalimat di atas, sebelum menikah. Sebagian besar dari mereka berfokus pada perubahan karakter sang suami, yang tidak lagi 'semanis' maupun seromantis saat pacaran. Mungkin lebih tepatnya bukan karakter yang berubah, namun sudah tidak ada lagi yang dapat disembunyikan untuk menciptakan impresi pada pasangan. Seolah di'telanjangi', karakter asli pasti muncul ketika sudah menikah. 

Hampir lima bulan saya menikah, syukur Alhamdulillah belum ada perubahan signifikan yang menyebabkan saya menyesal karena telah mengambil keputusan ini. Justru perubahan terjadi pada diri saya, tepatnya pada cara saya berpikir. Mungkin tidak semuanya bisa saya ceritakan secara rinci di sini, karena perubahan ini terkait dengan beberapa pemikiran yang cukup personal. 

Kehidupan sebelum dan menikah saya cukup berbeda. Terutama dalam lingkungan bertetangga. Sejak lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP), saya sudah tidak lagi berkomunikasi secara dekat dengan tetangga. Bahkan di rumah yang saya tempati sejak 2007, di Bandung, saya tidak memiliki teman sebaya, dengan tetangga juga hanya senyum seadanya. Tidak ada komunikasi lebih dari itu. 

Sebaliknya yang terjadi pada suami saya. Sejak lahir, sampai saat ini, dia tinggal di sebuah dusun bernama Bintaran. Kekerabatan antar tetangga cukup kuat. Ada satu kejadian yang membuat saya menyadari, mengapa dia sangat tidak berkenan untuk meninggalkan dusun ini. 

Suatu hari, ada salah satu warga, yang juga merupakan saudaranya, tertimpa kemalangan. Beliau harus dirawat di rumah sakit karena kondisi yang sangat kritis. Malam itu, saya menemani suami menjenguk ke rumah sakit. Sebelumnya memang sudah terdengar kabar, ada banyak orang (warga) yang kumpul di sana. Dalam bayangan saya, 'banyak' dapat diartikan 5-8 orang, atau setidaknya kurang dari 10. Namun sesampainya saya di sana, mungkin ada lebih dari 20 orang, memadati ruang tunggu di rumah sakit itu. Tidak tanggung-tanggung, beberapa dari mereka rela bermalam hanya sekedar untuk berjaga. Apabila kondisinya sudah tidak dapat ditolong lagi, mereka siap membantu ke langkah berikutnya. Lantas, saya pun bertanya pada suami.

Saya (N) : "Memangnya, setiap orang sakit, yang jenguk atau nungguin selalu sebanyak ini?"
Suami (D) : "Ya, rata-rata begitu. Tergantung orangnya. Tapi ya seringnya seperti ini. Nanti pemuda-pemuda itu berjaga, kalau tidak tertolong lagi, mereka yang akan memberi kabar ke warga,  biar yang di rumah siap-siap, bantu beres-beres rumah, siapin segala kebutuhan untuk pemakamannya"
N : "Oh, berarti kalau begini, ngga hanya diurusin keluarga ya?"
D : "Justru kalau di sini, keluarga itu sebisa mungkin ngga repot. Jadi warga yang mengurus semuanya."

Saya pun terdiam, berpikir. Ternyata, di zaman seperti ini, memang masih banyak orang-orang baik, yang membantu tanpa memikirkan balasan. Meski bukan dalam bentuk materi, namun sepertinya tenaga lebih berharga. Mohon maaf sebelumnya, harus saya akui, beberapa tahun belakangan, saya skeptis dengan keikhlasan orang-orang. Terutama karena saya lama hidup di kota, dengan kehidupan bertetangga yang cenderung apatis. Saya pikir semua orang hanya akan mementingkan kebutuhannya sendiri, tidak lagi peduli dengan apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Kegiatan kerja bakti mungkin hanya dapat ditemukan pada cerita pelajaran PPKN, karena kenyataannya, sangat jarang sekali ada kegiatan tersebut di daerah rumah saya. Ada sebenarnya, namun sepertinya tidak banyak yang terlibat, dan rata-rata kerja bakti yang dimaksud hanyalah kerja di waktu bersamaan untuk membersihkan halaman rumah masing-masing. Tetap individualis. 

Sedangkan di kampung halaman suami saya, kerja bakti tidak hanya dilakukan saat tertimpa kemalangan, namun juga ketika warganya melaksanakan hajatan. Sebagian besar warga, baik itu pemuda, bapak-bapak sampai ibu-ibu, bersama membantu yang punya hajat. Mulai dari memasang tenda, sampai memasak makanan yang akan disajikan untuk para tamu. Kegiatan ini dilakukan kurang lebih 3-4 hari sebelum acara berlangsung. 

Tidak hanya itu, beberapa kali saya dikirim makanan oleh tetangga, yang kondisinya, maaf, cukup sederhana. Mereka adalah orang-orang yang dapat dikatakan jauh dari kata berkecukupan, namun mereka terbiasa untuk memberi. Mulai dari bakmi yang dibuat untuk para bapak-bapak yang sedang ronda, makanan dari syukuran kelahiran anak, sampai makanan dari syukuran akikah. 

Dari hal-hal baru yang saya temui ketika dewasa ini, saya juga jadi semakin yakin terhadap beberapa hal, rezeki itu tidak perlu dikhawatirkan. Sudah ada yang mengaturnya. Rezeki bisa datang dari mana saja, kapan saja, dan dari siapa saja. Rezeki juga tidak melulu berkaitan dengan materi. Medapatkan bantuan tenaga saat tertimpa kemalangan pun dapat dikatakan sebagai rezeki.

Tidak perlu terlalu berkecil hati apabila hanya dapat hidup dalam kesederhanaan. Begitu pun sebaliknya, tidak perlu bangga secara berlebih apabila diberi kesempatan untuk hidup dengan kemewahan. Kesederhanaan mungkin akan membuat kita dipandang tidak berkecukupan oleh orang lain, namun kemewahan juga tidak menjamin dapat terpenuhinya semua kebutuhan kita. 

Hampir lima bulan saya di kota ini, meski tidak penuh, saya semakin menyadari, mengapa kehidupan di sini dapat membuat perasaan warganya aman dan tentram. Masih ada kepedulian antara sesama warga, ada keikhlasan yang kuat dari hampir sebagian besar orang, atau yang mereka sebut dengan 'nerimo'. 

Mungkin saya masih belum dapat mengaplikasikan hal ini dalam diri saya secara penuh, namun satu pesan yang akan saya ingat, diberikan oleh suami. 

"Jangan sampai, materi memperbudak kita."


***

Comments

Popular posts from this blog

Kamar Baru Ku

Hore! akhirnya kamar saya kembali tersusun sebagai mana mestinya. Ada sedikit perubahan (lagi) di kamar ini. Perubahan letak kasur, meja belajar, meja tv. Haha. Hmmm, jadi kira-kira ini kali ketiga saya merubah letak-letak semua barang. Semoga kerapian kamar ini berlangsung lama. Yeah!

Lucciano Pizzichini

Seorang teman saya memasukkan sebuah link yang berisi vidio seorang anak kecil yang jago bermain gitar di umur 8 tahun. Kemudian saat menunggu vidio tersebut bisa diputar tanpa terhambat sedikitpun, saya pun melihat-lihat vidio lainnya. Kemudian saya pun meng-klik sebuah vidio dengan anak sangat lucu didalamnya . Namanya Lucciano Pizzichini , saat itu dia berumur tujuh tahun dan kalian lihat saja lah vidionya. Ahh, sangat menggemaskan sekali anak ini. Yang membuat saya tertarik adalah anak ini bisa sangat ceria di bawah panggung, dan bisa sangat tenang di atas panggung. Saya yakin dia akan menjadi musisi besar suatu hari nanti, dan saya ingin bertemu dengan dia. haha. Dan lihat! Nuansa anak-anaknya sangat tergambar pada dua gitarnya yang ditempeli sticker spongebob!

......

Mendadak tidak mau mempercayai orang lain. Bagaimana bisa percaya? Bahkan mereka tidak menghargai apa yang telah saya buat? Hanya bisa mencaci maki saja..