Skip to main content

Gas dan Rem

Di suatu sore yang mendung, sekitar pertengahan tahun 2013, saya dan beberapa teman sedang terlibat dalam obrolan santai mengenai hidup. Sampai lah obrolan tersebut pada topik, kriteria pasangan hidup ideal menurut saya. Tentu saja banyak orang yang mendambakan, seorang pasangan yang memiliki hobi dan kegemaran yang sama dengan dirinya. Dengan begitu, hidup akan tampak lebih seru. Mengerjakan hal-hal yang disukai, bersama-sama dengan orang tercinta. 

Salah satu impian saya sedari dulu adalah untuk dapat berjalan-jalan, keliling Indonesia, bahkan keliling dunia. Ada banyak hal menarik yang selalu saya dapatkan dari perjalanan, baik itu dalam hal pemikiran, motivasi dalam menjalankan hidup, dan masih banyak lagi. Dengan kebiasaan tinggal berpindah-pindah sedari kecil, bisa menghabiskan sisa hidup dengan berkeliling Indonesia atau dunia tentu akan sangat menyenangkan. Oleh sebab itu, idealnya saya mendambakan seseorang yang bersamanya, saya dapat bergandengan, melakukan petualangan hidup, sampai kami tua, sampai kami merasa lelah dan memutuskan untuk berhenti. 

Di tengah obrolan tersebut, tiba-tiba seorang teman bertanya, bagaimana jika pasangan hidup saya kelak ternyata tidak suka jalan-jalan. Pertanyaan tersebut tentu membuat saya heran, lalu dengan penuh percaya diri saya jawab, "Mana mungkin ada orang yang tidak suka berjalan-jalan? Tidak lah, pasangan saya pasti suka jalan-jalan."

Bagaimana jika pasangan hidup saya ternyata tidak suka jalan-jalan? Tidak terbayang oleh saya sebelumnya. Ah, pasti saya mendapatkan yang sesuai hobi dan kegemarannya dengan saya. Kalau tidak, bagaimana mungkin kami bisa bersama? 

Tentu saja pemikiran yang penuh percaya diri tersebut hanya bersifat sementara. Ya, setidaknya hanya bertahan beberapa bulan.


--


Desember 2013, kali pertama saya dikenalkan pada seorang pria, asal Daerah Istimewa Yogyakarta, oleh seorang teman. Kerjaan iseng teman saya tersebut ternyata membuahkan hasil yang tidak terduga. Enam bulan kemudian, tepatnya 18 Juni 2014, saya dan pria yang bernama Dian Faqih Widhiakto tersebut memutuskan untuk menjalin pertemanan yang lebih intens.  

Bertemu dengannya ternyata membuat beberapa perubahan dalam hidup saya, terutama dalam hal pemikiran. 

Kepercayaan diri dan rasa optimis yang sangat besar untuk mendapatkan pasangan yang juga senang jalan-jalan, seketika sirna. Pria yang lahir tahun 1984 silam ini ternyata lebih menyukai aktivitas sosialnya di kampung, baik itu hanya bermain kartu sampai bertanding voli dengan teman-teman sekampungnya. Jadi, setiap saya menceritakannya tentang sebuah rencana perjalanan dengan penuh semangat, dia hanya menanggapi seadanya saja. Tak jarang hal ini membuat saya gemas, "Kok bisa ada orang yang tidak suka jalan-jalan? Padahal kan banyak hal yang bisa ditemui saat perjalanan itu." 

Bagaimana pun juga, itu lah kenyataannya. Saya dipertemukan dengan orang yang memiliki hobi dan kegemaran yang sama sekali berbeda. Benang merah kami hanya lah, dia pelaku musik, saya penikmat musik. Dia guru musik, saya bekerja di bidang musik. Sepertinya hanya itu. 

Lantas, hidup saya menjadi tidak semenarik yang saya bayangkan dong

Mungkin ya, mungkin tidak. 

Beruntungnya, meskipun dia tidak suka jalan-jalan, atau tidak terlalu tertarik dengan hal-hal yang saya gemari, tak jarang dia bersedia menemani saya dengan sabar (walaupun bergantung juga dengan suasana hatinya). Tidak semua permintaan saya untuk berjalan-jalan, dia tolak. Ada beberapa waktu di mana dia bersedia menemani saya walau hanya sekedar jalan-jalan ke pantai, berwisata di Bandung (saat dia mengunjungi saya), juga hanya sekedar berwisata kuliner di Jogja (ketika saya mengunjunginya).

Perjalanan saya dengannya tetap menyenangkan (khususnya bagi saya), meskipun dengan kemasan yang lebih sederhana. 

Yang saya rasakan selama ini, di balik semua perbedaan yang cukup signifikan dari saya dan Mas Dian (begitu saya memanggilnya), ada sinergi yang cukup menguntungkan, yang membuat hubungan kami bertahan hingga kini (meski tetap ada pasang-surut). Ibaratnya, saya adalah "gas" dan Mas Dian adalah "rem". Dia membantu saya untuk ingat, kapan seharusnya saya berhenti, dan kapan saya bisa terus jalan. Sedangkan, saya berharap bisa menjadi pendorongnya, untuk bisa terus menjalani hidup, dengan penuh semangat dalam mencapai tujuan yang diimpikan.

Tidak selalu harus sama untuk bisa bersatu. Tidak selamanya juga yang berbeda, tidak bisa disatukan. Mungkin ada banyak hal baru yang dapat dijadikan pengalaman dan pelajaran dari perbedaan tersebut. Yang terpenting adalah bagaimana menghargai waktu dan apa yang telah diberikan, dengan menjadi manusia yang sebaik-baiknya. Manusia yang tidak hanya bermanfaat dan membuat senang diri sendiri, namun juga untuk orang lain di sekitar, terutama yang ada di lingkungan terdekat.








(Diketik dengan suasana hati yang stabil, di kota Bandung yang sedang hujan)


Comments

Popular posts from this blog

Potret on Vacation

Good Friends, Gr ea t H oliday! Pada hari Sabtu, 02 Agustus 2008, POTRET mengadakan hunting sekaligus liburan ke Pameungpeuk-Garut. Jangan bayangkan anak POTRET disini dengan jumlah yang sangat banyak yaa. Hanya "Perwakilan" dari POTRET saja yang ikut disini, yaitu Mbahrul, Aphiet, Andi, Rizki, Gita, dan Nana. Wah, aku cewe sendiri disini. Sebenernya sih hunting ke Pameungpeuk ini bisa dibilang rencana dadakan sih. Awalnya aku ngerencanain hunting ke Malabar. Tapi, karena 1 dan lain hal, akhirnya diputuskanlah untuk hunting ke Pameungpeuk. Kami semua janjian kumpul di McD Simpang Dago jam 05.00 WIB . Waktu aku nyampe jam 05.15 WIB, disana udah ada Mbahrul, Gita, dan Aphiet. Rizki akhirnya dateng jam 05.30 WIB. Dan, karena semua udah kumpul, akhirnya kami pun berangkat menuju Garut. Sekitar jam 8 kurang-an kami sampai di Kabupaten Garut. Pemberhentian pertama kami adalah tempat wisata Candi Cangkuang. Kami berada disana sampai jam 09.00 WIB. Tempatnya lumayan sih, ga jelek-...

Pengakuan Yang Tidak Jelas

Beberapa waktu belakangan ini, saya dihadapkan dengan pikiran teman-teman terdekat, yang menurut saya cukup dalam, serius, dan berat. Pemikiran-pemikiran itu muncul disaat kami mengadakan suatu diskusi mengenai hidup. Kemudian, saya pun berpikir. Bertanya dalam hati. Mengapa ya saya tidak pernah kepikiran tentang semua yang mereka pikirkan? Ya, tidak sedikit pun! Kebanyakan dari mereka memikirkan sesuatu yang kontradiksi. Dan banyak juga yang memikirkan tentang betapa menyedihkannya diri dia maupun orang-orang didunia ini, sebenarnya. Mereka berpikir mengenai hal-hal suram yang ada di dunia ini. Sampai kemudian, seorang teman berkata. "Kamu itu orangnya positif, kamu senang melihat kebahagiaan orang-orang disekitar kamu" Oh, ya barangkali. Saya memang lebih senang dengan segala sesuatu yang lebih berwarna dibandingkan hanya hitam-putih. Sehingga mungkin memang saya lebih memilih untuk melihat kebahagiaan orang lain dibandingkan kesedihan mereka. Namun sayangnya, kalimat itu b...

Yogyakarta's Diary

Bandung, 12 Januari 2009 - 06:45 PM. Sampai di stasiun Bandung dengan selamat. Disana sudah ada Amalia Nur atau yang akrab kami sapa KIMIL yang ternyata sangat ONTIME. Hahaha, beliau telah tiba di stasiun dari jam 06:00 PM. Betapa rajinnya beliau itu. Menit-menit berikutnya pun satu persatu peserta asoi jogjaers pun muncul. Kira-kira pukul 07:45 PM pun kami semua menuju gerbong yang telah menunggu untuk kami hebohkan. Peserta asoi Jogjaers malam itu pun adalah sebagai berikut : Nana, Kimil, Irham, Eja, Ucup, JP, Inyong, Bleki, Andrian, Ridwan (mas Usher), Irvan, Rendi, Radi, Ulil, Ighe dan Bagus. Sekitar pukul 08:00 Pm pun kereta kami berangkat menuju Jogja. Cihuy, petualangan POTRET kembali dimulai. Saya tidak sabar untuk menanti kejadian-kejadian ajaib dan aneh apa lagi yang terjadi di perjalanan ini. (persediaan makanan kami c ukup banyak ya) Malam pun semakin larut, namun belum ada tanda-tanda munculnya keanehan-keanehan yang biasa dilakukan anak-anak yang mengaku menjadi anggota ...