Masih terngiang jelas di kepalaku, bagaimana caramu memaki. Kau keluarkan semua amarahmu di tengah keramaian itu. Aku yang pada saat itu tak yakin betul apa salahku, hanya bisa terdiam memperhatikanmu.
Namun diam bukanlah pilihanku selanjutnya. Ku dekati kau secara perlahan, ku tanya apa yang terjadi. Terus ku memastikan dimana letak kesalahanku. Kau pun tetap terdiam dan tak menjelaskan apapun padaku. Perlahan aku mulai mengetahui apa yang membuatmu begitu marah. Bukan karena aku mengakui itu memang salahku, tapi memang karena aku sudah mulai bisa meraba jalan emosimu.
Aku pun pergi meninggalkan rumahmu. Ku tutup pintu itu rapat-rapat, tak berharap aku akan kembali ke tempatmu. Kecewa dan kepedihan yang kubawa. Aku tak bermaksud untuk terus mendendam, tapi sungguh kejadian itu tak kan pernah dapat ku lupakan.
Aku berjalan menuju persinggahan yang lain, bersiap untuk membuka cerita yang baru. Namun sebelum itu kusempatkan untuk meninggalkan pesan di kotak suaramu, "saudaraku, maaf ternyata aku tak cukup kstaria untuk bertahan di dekatmu. Aku tak cukup mampu untuk menerima kekurangan dan kekhilafan mu. Pesan terakhirku untukmu, jagalah semua saudara yang masih kau miliki. Jangan terulang lagi kisah seperti yang kita alami. Karena tak begitu seharusnya yang terjadi dalam sebuah persaudaraan". Ku tutup telepon genggamku, kemudian ku teruskan perjalananku. Senyum kupaksakan untuk mekar, mencoba membersihkan hatiku dari semua kebencian.
Comments
kamu lebih baik dari itu.